Minggu, 10 Januari 2010

Objek Ekowisata Kiadan, Badung-Bali

Ini adalah satu di antara sedikit wahana Ekowisata (Ecotourism) yang ada di Bali. Wahana ini berupa perkebunan kopi yang dikelola oleh masyarakat setempat. Lokasinya di Banjar Kiadan, Desa Pelaga, Kecamatan Petang, Kabupaten Badung. Di banjar terebut, masyarakat mengelola kebun kopi dan memproduksi bubuk kopi dengan merek dagang “Ijo Bang”. Pada areal perkebunan kopi seluas 243 hektar tersebutlah ekowisata ini dilaksanakan.

Bentuknya adalah wisata trekking menyusuri areal perkebunan dan beberapa tempat menarik antara lain air terjun Nungnung. Ada dua jalur trekking yang ditawarkan, yakni “Jalur Panjang” yang menghabiskan waktu sekitar tiga jam, dan “Jalur Pendek” yang memutuhkan waktu hanya satu jam saja. Dalam perjalanan tersebut, kita akan dipandu oleh seorang atau beberapa orang pemandu yang akan menjelaskan secara mendetail tentang berbagai macam tumbuhan, perdu, semak dan pohon yang ada di sepanjang perjalanan, lengkap dengan kegunaannya masing-masing.

Setelah puas berjalan-jalan menyusuri jalur alam Kiadan, kita akan disambut oleh pengelola di Balai Subak Sari Boga, Br. Kiadan, Pelaga, Badung Utara. Balai Subak tersebut adalah sebuah wantilan (aula) yang tampak unik karena plafonnya yang terbuat dari bambu batangan. Hampir semua mebel dan perabotannya pun terbuat dari bambu. Di wantilan tersebut, kami disuguhi kopi Kiadan yang rasanya begitu khas. Sebelum disuguhkan, kopi itu direbus dengan kuali yang terbuat dari tanah di tungku dengan bara api yang terukur sedemikian rupa. Sebagai teman kopi, kami mendapat suguhan penganan yang terbuat dari ketan dan ketela rambat yang di kukus. Keduanya diurap dengan parutan kelapa dan, bila suka, disirami cairan gula merah. Untuk rombongan trekking yang besar dan berniat menginap di kawasan ini, tersedia sarana akomodasi berupa home stay yang mampu menampung sebanyak 30 orang tamu. Itulah salah satu bentuk ekowisata berbasis masyarakat yang telah diterapkan di Banjar Kiadan.

Ekowisata Berbasis Masyarakat

Pola ekowisata berbasis masyarakat adalah pola pengembangan ekowisata yang mendukung dan memungkinkan keterlibatan penuh oleh masyarakat setempat dalam perencanaan, pelaksanaan, dan pengelolaan usaha ekowisata dan segala keuntungan yang diperoleh.

Ekowisata berbasis masyarakat merupakan usaha ekowisata yang menitikberatkan peran aktif komunitas. Hal tersebut didasarkan kepada kenyataan bahwa masyarakat memiliki pengetahuan tentang alam serta budaya yang menjadi potensi dan nilai jual sebagai daya tarik wisata, sehingga pelibatan masyarakat menjadi mutlak. Pola ekowisata berbasis masyarakat mengakui hak masyarakat lokal dalam mengelola kegiatan wisata di kawasan yang mereka miliki secara adat ataupun sebagai pengelola.

Ekowisata berbasis masyarakat dapat menciptakan kesempatan kerja bagi masyarakat setempat, dan mengurangi kemiskinan, di mana penghasilan ekowisata adalah dari jasa-jasa wisata untuk turis: fee pemandu; ongkos transportasi; homestay; menjual kerajinan, dll. Ekowisata membawa dampak positif terhadap pelestarian lingkungan dan budaya asli setempat yang pada akhirnya diharapkan akan mampu menumbuhkan jati diri dan rasa bangga antar penduduk setempat yang tumbuh akibat peningkatan kegiatan ekowisata.

Dengan adanya pola ekowisata berbasis masyarakat bukan berarti bahwa masyarakat akan menjalankan usaha ekowisata sendiri. Tataran implementasi ekowisata perlu dipandang sebagai bagian dari perencanaan pembangunan terpadu yang dilakukan di suatu daerah. Untuk itu, pelibatan para pihak terkait mulai dari level komunitas, masyarakat, pemerintah, dunia usaha dan organisasi non pemerintah diharapkan membangun suatu jaringan dan menjalankan suatu kemitraan yang baik sesuai peran dan keahlian masing-masing. Beberapa aspek kunci dalam ekowisata berbasis masyarakat adalah:

  1. Masyarakat membentuk panitia atau lembaga untuk pengelolaan kegiatan ekowisata di daerahnya, dengan dukungan dari pemerintah dan organisasi masyarakat (nilai partisipasi masyarakat dan edukasi)
  2. Prinsip local ownership (pengelolaan dan kepemilikan oleh masyarakat setempat) diterapkan sedapat mungkin terhadap sarana dan pra-sarana ekowisata, kawasan ekowisata, dll (nilai partisipasi masyarakat)
  3. Homestay menjadi pilihan utama untuk sarana akomodasi di lokasi wisata (nilai ekonomi dan edukasi)
  4. Pemandu adalah orang setempat (nilai partisipasi masyarakat)
  5. Perintisan, pengelolaan dan pemeliharaan obyek wisata menjadi tanggungjawab masyarakat setempat, termasuk penentuan biaya (fee) untuk wisatawan (nilai ekonomi dan wisata).

Prinsip-prinsip Ekowisata (2)

1. Prinsip Konservasi

Memiliki kepedulian, tanggung jawab dan komitmen terhadap pelestarian lingkungan alam dan budaya, melaksanakan kaidah-kaidah usaha yang bertanggung jawab dan ekonomi berkelanjutan.

Prinsip Konservasi Alam memiliki kepedulian, tanggung jawab dan komitmen terhadap pelestarian alam serta pembangunan harus mengikuti kaidah ekologis.

Prinsip Konservasi Budaya, Peka dan menghormati nilai-nilai sosial-budaya dan tradisi keagamaan masyarakat setempat.

2. Prinsip Partisipasi Masyarakat

Perencanaan dan Pengembangan harus melibatkan masyarakat setempat secara optimal melalui musyawarah dan mufakat.

3. Prinsip Ekonomi

Memberikan manfaat yang optimal kepada masyarakat setempat dan berkelanjutan. Selain ketiga prinsip di atas, produk ekowisata juga harus mencerminkan dua prinsip pendukung lainnya:

a. Prinsip Edukasi

Meningkatkan kesadaan dan apresiasi terhadap alam, nilai-nilai peninggalan sejarah dan budaya serta memberikan nilai tambah dan pengetahuan bagi wisatawan, masyarakat, dan para pihak yang terkait.

b. Prinsip Wisata

Menciptakan rasa aman, nyaman dan memberikan kepuasan serta menambah pengalaman bagi pengunjung.

Prinsip-prinsip Ekowisata (1)

Dari definisi-definisi mengenai ekowisata yanga ada, terdapat prinsip-prinsip ekowisata yang terdiri dari 8 prinsip utama yang bisa dijadikan pegangan, antara lain :

1. Memiliki fokus area natural (natural area focus) yang memungkinkan wisatawan memiliki peluang untuk menikmati alam secara personal serta langsung.

2. Menyediakan interpretasi atau jasa pendidikan yang memberikan peluang kepada wisatawan untuk menikmati alam sehingga mereka menjadi lebih mengerti, lebih mampu mengapresiasi serta lebih menikmati.

3. Kegiatan terbaik yang dapat dilakukan dalam rangka keberlanjutan secara ekologis.

4. Memberikan kontribusi terhadap konservasi alam dan warisan budaya.

5. Memberikan kontribusi secara kontinyu terhadap masyarakat lokal.

6. Menghargai serta peka terhadap nilai-nilai budaya yang ada di wilayah tersebut.

7. Secara konsisten memenuhi harapan konsumen.

8. Dipasarkan serta dipromosikan dengan jujur serta akurat sehingga kenyataanya sesuai dengan harapan.

Sedangkan Eplerwood (1999) dalam Fandeli, menyebutkan ada delapan prinsip, yaitu :

1. Mencegah dan menanggulangi dampak dari aktivitas wisatawan terhadap alam dan budaya. Pencegahan dan penanggulangan diseuaikan dengan sifat dan karakter alam dan budaya setempat.

2. Pendidikan konservasi lingkungan. Mendidik wisatawan dan masyarakat setempat akan pentingnya arti konservasi. Proses pensisikan ini dapat dilakukan langsung di alam.

3. Pendapatan langsung untuk kawasan. Mengatur agar kawasan yang digunakan untuk ekowisata dan manajemen pengelola kawasan pelestarian dapat menerima langsung penghasilan atau pendapatan. Retribusi dan pajak konservasi dapat dipergunakan secara langsung untuk membina, melestarikan dan meningkatkan kualitas pelestarian alam.

4. Partisipasi masyarakat dalam perencanaan dan pengelolaan ekowisata. Masyarakat diajak dalam merencanakan pengembangan ekowisata, sekaligus dalam pengawasan.

5. Penghasilan masyarakat; keuntungan secara nyata terhadap terhadap ekonomi masyarakat dari kegiatan ekowisata mendorong masyarakat menjaga kelestarian kawasan alam.

6. Menjaga keharmonisan dengan alam; semua upaya pengembangan termasuk pengembangan fasilitas dan utilitas harus tetap menjaga keharmonisan dengan alam. Apabila ada upaya disharmonize dengan alam akan merusak produk ekowisata ini. Seperti hindarkan sejauh mungkin penggunaan minyak, mengkonservasi flora dan fauna serta menjaga keaslian budaya masyarakat.

7. Daya dukung lingkungan, pada umumnya lingkungan alam mempunyai daya dukung yang lebih rendah dibanding daya dukung kawasan buatan. Meskipun permintaan sangat banyak, tetapi daya dukunglah yang membatasi.

8. Peluang penghasilan pada porsi yang besar terhadap negara. Apabila suatu kawasan pelestarian dikembangkan untuk ekowisata, maka belanja wisatawan didorong sebesar-besarnya dinikmati oleh negara atau pemerintah daerah setempat.

Pada tanggal 3-5 September 2002 diselenggarakan pelatihan ekowisata se-Bali oleh Kantor Kementerian lingkungan Hidup dan merumuskan 9 prinsip ekowisata, yaitu

1. Memiliki kepedulian, komitmen dan tanggung jawab terhadap konservasi alam dan warisan budaya.

2. Menyediakan interpretasi yang memberikan peluang kepada wistawan untuk menikmati alam dan meningkatkan kecintaannya terhadap alam.

3. Memberikan kontribusi secara kontinyu terhadap masyarakat setempat serta memberdayakan masyarakat setempat.

4. Peka dan menghormati nilai-nilai sosial budaya dan tradisi keagamaan masyarakat setempat.

5. Mentaati peraturan perundang-undangan yang berlaku.

6. Pengembangannya harus didasarkan atas musyawarah dengan persetujuan masyarakat setempat.

7. Secara konsisten memberikan kepuasan kepada konsumen.

8. Dipasarkan dan dipromosikan dengan jujur dan akurat sehingga sesuai dengan harapan.

Jumat, 08 Januari 2010

Definisi Ekowisata

Pengertian tentang ekowisata mengalami perkembangan dari waktu ke waktu. Namun, pada hakekatnva, pengertian ekowisata adalah suatu bentuk wisata yang bertanggungjawab terhadap kelestarian area yang masih alami (natural area), memberi manfaat secara ekonomi dan mempertahankan keutuhan budava bagi masyarakat setempat. Atas dasar pengertian ini, bentuk ekowisata pada dasarnya merupakan bentuk gerakan konservasi yang dilakukan oleh penduduk dunia. Eco-traveler ini pada hakekatnya konservasionis.

Definisi ekowisata yang pertama diperkenalkan oleh organisasi The Ecotourism Society (1990) sebagai berikut: Ekowisata adalah suatu bentuk perjalanan wisata ke area alami yang dilakukan dengan tujuan mengkonservasi lingkungan dan melestarikan kehidupan dan kesejahteraan penduduk setempat. Semula ekowisata dilakukan oleh wisatawan pecinta alam yang menginginkan di daerah tujuan wisata tetap utuh dan lestari, di samping budaya dan kesejahteraan masyarakatnya tetap terjaga.

Namun dalam perkembangannya ternyata bentuk ekowisata ini berkembang karena banyak digemari oleh wisatawan. Wisatawan ingin berkunjung ke area alami, yang dapat menciptakan kegiatan bisnis. Ekowisata kemudian didefinisikan sebagai berikut: Ekowisata adalah bentuk baru dari perjalanan bertanggungjawab ke area alami dan berpetualang yang dapat menciptakan industri pariwisata (Eplerwood, 1999). Dari kedua definisi ini dapat dimengerti bahwa ekowisata dunia telah berkembang sangat pesat.

Bahkan di beberapa wilayah berkembang suatu pemikiran baru yang berkait dengan pengertian ekowisata. Fenomena pendidikan diperlukan dalam bentuk wisata ini. Hal ini seperti yang didefinisikan oleh Australian Department of Tourism (Black, 1999) yang mendefinisikan ekowisata adalah wisata berbasis pada alam dengan mengikutkan aspek pendidikan dan interpretasi terhadap lingkungan alami dan budaya masyarakat dengan pengelolaan kelestarian ekologis. Definisi ini memberi penegasan bahwa aspek yang terkait tidak hanya bisnis seperti halnya bentuk pariwisata lainnya, tetapi lebih dekat

dengan pariwisata minat khusus, alternative tourism atau special interest tourism dengan

obyek dan daya tarik wisata alam.

Deklarasi Quebec secara spesifik menyebutkan bahwa ekowisata merupakan suatu bentuk wisata yang mengadopsi prinsip-prinsip pariwisata berkelanjutan yang membedakannya dengan bentuk wisata lain. Dalam praktik hal itu terlihat dalam bentuk kegiatan wisata yang :

a) Secara aktif menyumbang kegiatan konservasi alam dan budaya;

b) Melibatkan masyarakat lokal dalam proses perencanaan, pengembangan, pengelolaan wisata, serta memberikan sumbangan positif terhadap tingkat kesejahteraan masyarakat lokal; dan

c) Dilakukan dalam bentuk wisata independen atau diorganisasi dalam skala kecil (UNEP, 2000; Heher, 2003).

Dengan kata lain ekowisata adalah bentuk industri pariwisata berbasis lingkungan yang memberikan dampak kecil bagi kerusakan alam dan budaya lokal sekaligus menciptakan peluang kerja dan pendapatan, serta membantu kegiatan konservasi alam itu sendiri (Panos, dikutip oleh Ward,1997).

Sekilas Tentang Ekowisata




Sekitar tahun 1980-an lahir suatu konsep Alternative Tourism yang memberikan suatu kritikan terhadap paradigma lama tentang pariwisata. Pembangunan pariwisata pada paradigma lama cenderung merupakan pembangunan besar-besaran dengan pertumbuhan yang cepat, eksploitasi sumberdaya baik alam maupun masyarakat tanpa memperhatikan kelestariannya, dan tidak memperhatikan kepentingan masyarakat lokal. Paradigma baru kemudian muncul dengan memperhatikan kepentingan masyarakat lokal. Konsep baru inilah yang kelak populer dinamakan ekowisata.

Ekowisata (Fennel, 1999:43) merupakan wisata berbasis alam yang berkelanjutan dengan fokus pengalaman dan pendidikan tentang alam, dikelola dengan sistem pengelolaan tertentu dan memberi dampak negatif paling rendah terhadap lingkungan, tidak bersifat konsumtif dan berorientasi pada lokal (dalam hal kontrol, manfaat yang dapat diambil dari kegiatan usaha).

Jauh sebelumnya, Auliana Poon (1993), telah menyebutkan bahwa pariwisata masal telah membuka jalan untuk ’pariwisata baru’. Yang dimaksud dengan wisatawan baru adalah wisatawan yang lebih canggih dan berpengalaman, yang lebih suka merencanakan perjalanan wisata mereka sendiri dan bepergian secara mandiri. Menurut Poon, wisatawan baru ini bersifat lebih spontan dan luwes dalam mengatur susunan perjalanan wisata mereka. Mereka juga lebih cenderung menyenangi obyek-obyek wisata dengan minat khusus, seperti wisata budaya, wisata berbasis alam atau wisata petualangan. Mereka lebih mementingkan pengalaman yang asli dan perjalanan singkat ke satu daerah wisata saja.